Imam sang Pendoa
(Refleksi atas panggilan hidup sebagai imam)
Oleh: Juvensius Obosan
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dirasakan akhir-akhir ini sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Pengaruh perkembangan itu melanda semua orang tanpa terkecuali. Pengaruh perkembangan itu tidak memilih-milih orang. Orang berpendidikan atau tidak tetap menerima pengaruh dari perkembangan itu. Petani dan pedagang juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Hal itu juga dirasakan oleh orang-orang yang atas kehendak sendiri mau hidup sebagai pengikut Kristus dengan cara tidak kawin atau yang lebih dikenal dengan nama biarawan dan biarawati atau rohaniawan dan rohaniwati.
Pengaruh perkembangan itu tidak hanya meliputi semua orang dalam berbagai lapisan masyarakat, tetapi mempengaruhi semua aspek hidup manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi cara berpakaian, cara bertutur kata, cara berelasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi juga mempengaruhi cara orang bersikap, berpenampilan dan berpikir. Ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi cara orang menghayati suatu hal, termasuk di dalamnya penghayatan terhadap iman akan Allah. Ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi orang menghayati hubungannya dengan Tuhan.
Berhubungan dengan Tuhan berarti orang menyempatkan diri untuk berdoa, entah di gereja atau di rumah. Salah satu gaya hidup dan bahkan telah menjadi penghayatan hidup pada sebagian orang bahwa berhubungan dengan Tuhan adalah urusan kedua. Yang pertama dan yang terpenting adalah mengejar kebutuhan hidup sehingga tidak ketinggalan zaman. Para imam dan juga calon imam seperti saya juga merasakan hal itu. Pengaruh perkembangan dunia mempengaruhi gaya berpikir dan terlebih gaya hidup para calon imam.
Pada kesempatan ini akan dilihat hakekat panggilan menjadi imam sehubungan dengan relasinya dengan Tuhan dalam doa.
HAKEKAT IMAM
a. Dasar Panggilan menjadi Imam
“Gembala-gembala akan kuangkat bagimu sesuai dengan hati-Ku” (Yer.3:15). Amanat nabi Yeremia itu menunjukkan bahwa Allah berjanji kepada umat-Nya bahwa Ia tidak akan meninggalkan mereka tanpa gembala-gembala untuk menghimpun dan menggembalakan mereka. Sebagai satu kawanan, domba-domba sangat membutuhkan gembala yang bisa menghantar pada sumber kehidupan: air dan padang rumput. Janji Allah yang dinubuatkan oleh nabi Yeremia itu akhirnya dipenuhi. Yesus Kristus adalah pemenuhan janji Allah yang hidup, tertinggi dan definitif. “Akulah Gembala yang baik”. (Yoh.10:11). Yesus adalah Gembala Agung (Ibr.13:20). Sebagai Gembala Agung, Yesus menghantar domba-domba ke padang rumput yang hijau, ke sumber air yang menghidupkan. Yesus tidak hanya menghantar pada sumber kehidupan tetapi Dialah sumber itu sendiri: lambung-Nya ditikam dan keluarlah darah dan air sebagai sumber penghidupan kekal. Sebagai Gembala yang baik, Yesus mempercayakan kepada para Rasul untuk melanjutkan karya penggembalaan-Nya itu. Kepada Petrus yang menjadi dasar bangunan Gereja, dengan terus terang Yesus menegaskan “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh.21:15).
Gereja menyadari bahwa Yesus tidak hanya menunjuk para Rasul, Petrus dan kawan-kawan, tetapi juga pengganti-pengganti mereka. Gereja menyadari bahwa tugas penggembalaan adalah tugas yang harus dilanjutkan oleh semua pengganti Petrus. Karena itu, semua pengganti Petrus (Paus dalam kesatuan dengan semua uskup) Yesus menugaskan mereka untuk melayani dan menggembalakan kawanan Allah (Bdk.1Ptr.5:2). Kepada pengganti-pengganti Petrus itu Yesus menyuruh “Pergilah dan jadikianlah semua bangsa murid-murid-Ku” (Mat.28:19), dan “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Aku” (Luk.22:19; Bdk. 1Kor.11:24).
Iman akan janji Allah dan apa yang diperbuat dan diperintahkan Yesus itulah yang menjadi alasan dan kekuatan yang mendasari kegembiraan Gereja atas pertumbuhan dan tambahnya panggilan imam sekarang ini di berbagai kawasan dunia.[1]
b. Imam dipilih dari antara manusia
Surat kepada orang Ibrani mengungkapkan dengan jelas bahwa gembala-gembala dipilih dari antara manusia. “Setiap imam agung, yang dipilih dari antara manusia, ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah” (Ibr.5:1). Penegasan tersebut mau mengetengahkan sifat manusiawi para pelayan Allah. Allah memanggil para imam-Nya dari lingkungan hidup manusiawi yang khas. Lingkungan itu, mau tak mau sangat mempengaruhi hidup dan gaya berpikir serta gaya bertindak mereka. Kepada lingkungan-lingkungan itu, dengan segala perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, imam-imam itu diutus untuk melayani Kristus.
Walaupun berasal dari lingkungan yang serba kompleks dengan berbagai perkembangan yang sangat mempengaruhi perubahan gaya hidup, namun ada hal yang hakiki dari para imam itu yang tetap dari dulu hingga sekarang. Imam masa lalu, imam masa sekarang pun imam masa mendatang tetap harus menyerupai Kristus. Secara apostolik, Paus Yohanes Paulus II, menganjurkan,
Ketika Yesus hidup di dunia ini, Ia menampakkan dalam DiriNya peranan definitif imam, dengan menetapkan imamat misterial. Para Rasullah yang untuk pertama kalinya menyandang imamat itu. Imamat dimaksudkan untuk tetap berlangsung di sepanjang sejarah melalui pengganti tiada putusnya. Dalam arti itulah imam millenium ketiga akan melangsungkan karya para imam, yang selama abad-abad sebelumnya telah menjiwai kehidupan Gereja. Dalam millenium ketiga panggilan imam tetap akan merupakan panggilan untuk menghayati imamat Kristus yang tunggal dan lestari.[2]
Semua imam dari semua zaman mengikuti imamat dari Imam Agung, Yesus Kristus. Tanpa imamat tersebut, para imam tak berarti apa-apa. Itu berarti, tugas penggembalaan semua imam dari dulu hingga sekarang dan masa akan datang didasarkan pada imama Yesus Kristus. Itulah sebabnya para imam disebut sebagai alter Kristus. Alter Kristus berarti wakil Kristus. Mereka mengurbankan diri (Bdk. Pernyataan dalam DSA “berdoalah agar persembahanku dan persembahamu diterima oleh Allah Bapa di surga”) dalam perayaan Ekaristi. Mereka merepresentasikan kurban Yesus di kayu salib, sambil mengurbankan diri bersama Kristus dalam Perayaan Ekaristi.
Kendati hakekat imam sebagai alter Kristus tetap sama, namun para imam dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka akan diutus. Itu bukan berarti para imam harus melebur dan mengikuti panggilan zaman, tetapi masuk dalam situasi itu dan menggembalakan anak-anak zaman agar memperoleh sumber air hidup, yaitu Yesus Kristus sendiri. Untuk itulah, para imam dan juga calon imam harus menjalin hubungan yang mendalam dengan Kristus sebagai sumber imamat.
c. Imam dan Kristus
Ketika Yesus membacakan nubuat nabi Yesaya di rumah ibadat, semua mata tertuju kepadaNya. Semua orang dipanggil untuk mengenali Yesus dari Nazaret sebagai pemenuhan definitif amanat para Nabi: “Lalu Ia memulai mengajar mereka, kataNya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” (Luk.4:21). Inilah nas yang dibacakanNya: “Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun ramhat Tuhan telah datang” (Luk.4:18-19). Itulah perkenalan Yesus. Ia memperkenalkan diri sebagai Dia yang dipenuhi Roh; “ditakdirkan dengan pengurapan”, “diutus untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin”. Dialah Almasih, yang adalah Imam, Nabi dan Raja.
Berdasarkan perkenalan Yesus itu, calon imam dan para imam harus mengarahkan diri pada imamat misterial Yesus Kristus. Imamat para imam adalah partisipasi pada Imamat sejati Yesus Kristus. Atas dasar itulah maka para imam dan juga calon imam mesti menjalin hubungan yang mendasar dengan Kristus sebagai sumber imamat. Bahkan hubungan itu mesti dijalin hingga bisa bersatu dengan Dia sebagai pemberi imamat. Sebelum meninggalkan para Rasul, Yesus mendoakan mereka agar tetap menjali hubungan yang mendalam bahkan bersatu dengan Dia dalam menjalankan tugas perutusan di tengah-tengah dunia. “Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam namaMu, yang telah Engkau berikan kepadaKu, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita … sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh.17:11,21).
Relasi yang menghantar para imam dan calon imam bersatu dengan Kristus itu menegaskan hidup rohani para imam dan calon imam.
“Roh Tuhan ada pada-Ku” (Luk.4:18). Roh Kudus bukan melulu “ada” pada almasih, melainkan “memenuhiNya”, merasukiNya sepenuhnya, dan menjangkau lubuk terdalam seluruh kehidupan dan kegiatanNya. Roh itu adalah prinsip “pentakdisan” serta “perutusan” Almasih: “sebab Ia telah mengurapi Aku, dan mengutus Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada kaum miskin …” (Luk.4:18). Karena Roh itu, Yesus seutuhnya dan secara eksplisit menjadi milik Allah. Ia iktu memiliki kekudusan Allah yang tiada hingganya. Allah itulah yang memanggil, memilih dan mengutusNya. Begitulah Roh Tuhan diwahyukan sebagai sumber kekudusan dan sumber panggilan untuk kesucian.[3]
Bersatu dengan Yesus berarti menjadi serupa dengan Kristus. Sebagaimana Kristus bersatu dengan kekudusan Bapa, demikian pula mereka yang dipanggil atas kehendakNya bersatu dengan kekudusanNya. Para imam dan calon imam dipanggil secara istimewa untuk kekudusan. Panggilan untuk menjadi kudus dan tak bercela di hadiratNya sejak kekal telah ditujukan kepada setiap orang, terlebih para imam dan calon imam. “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapanNya” (Ef.1:4). Panggilan imam dan calon imam kepada kekudusan menandakan bahwa mereka dipanggil untuk menjadi sempurna. “Hendaknya kamu menjadi sempurna seperti Bapamu di sorga adalah sempurna” (Mat.5:48). Para imam dan calon imam wajib mencapai kesempurnaan itu berdasarkan alasan khas, yakni karena dengan menerima tahbisan mereka secara baru ditakdiskan kepada Allah, mereka menjadi sarana yang hidup bagi Kristus Sang Imam Abadi, untuk dapat melangsungkan karyaNya di sepanjang masa. Bertumpu pada pentakdisan, yang terlaksana berkat pencurahan Roh dalam Sakramen Tahbisan itu, hidup rohani imam diwarnai, dibentuk dan ditandai dengan cara berpikir dan bertindak yang khas bagi Yesus Kristus, Kepala dan Gembala yang terangkum dalam cinta kasih pastoral. Itulah sebabnya dengan kekudusan yang diperoleh dari sumber Yesus, para imam membawa Kristus kepada semua orang di semua tempat dan segala zaman sebagai imam, nabi dan raja untuk menghantar mereka pada kekudusan.
d. Imam, Nabi dan Raja
Kristus datang untuk menjadikan manusia kudus. Ia datang untuk memungkinkan kita mengambil bagian di dalam kehidupan Tuhan sendiri, yang di dalam Alkitab dikatakan kudus (Bdk. Ef.1:4). Ia datang untuk mengantar kita ke dalam sebuah hubungan timbal balik saling membagi sebagai sebuah persekutuan hidup dengan Tuhan. Yesus menyelesaikan penyelamatan dengan bertindak sebagai seorang Nabi, Imam Agung dan Raja. Ketiga hal ini disebut sebagai ketiga jabatan Kristus. Misi-Nya untuk membawa kita ke dalam persekutuan dengan Tuhan dipenuhi melalui yang dikerjakan-Nya sebagai Nabi, Imam Agung dan Raja. Para imam dan juga calon imam dipanggil secara khusus mengambil bagian secara khusus dan istemewa dalam ketiga jabatan Kristus itu untuk menghantar umat bersatu dengan Bapa yang adalah kudus.
Sebagai Nabi, Yesus menyatakan kebenaran. Sebagai gambaran Allah, manusia diciptakan untuk kebenaran. Menaati kebenaran adalah martabat manusia. Manusia selalu membutuhkan kebenaran sebab karena dosa manusia telah diperbudak oleh tipuan Iblis dan dihalangi oleh ketidaktahuan/kebodohan. Oleh karena itu, Yesus mengajarkan bahwa kebenaran memerdekakan kita (Yoh 8:32), dan kematian-Nya adalah saksi kebenaran tersebut (Yoh 8:40; 18:37) tentang Tuhan yang adalah Kasih dan Kebenaran. Kebenaran memampukan manusia untuk mengambil bagian di dalam kurban Kristus dalam cara yang sungguh-sungguh manusiawi, disengaja, dan dengan penuh kesadaran. Para imam dan calon imam dipanggil secara khusus untuk melaksanan tugas kenabian ini. Secara khusus berarti orientasi hidup para imam dan juga calon imam diarahkan pada tugas mewartakan ini. Para imam dan juga calon imam dengan bertugas mewartakan Sabda Tuhan sebagai kabar gembira yang membawa kebenaran. Tugas pewartaan ini tidak hanya sebatas berkotbah, di mimbar dalam perayaan-perayaan liturgis, tetapi lewat teladan hdiup: sikap dan perbuatan serta tutur kata sehari-hari. Jabatan/tugas kenabian mengarah dan melayani tugas ke- imamat-an.[4]
Sebagai Imam, Yesus mempersembahkan kurban yang sempurna dalam hal ketaatan dengan penuh kasih dan ketaatan seorang anak (Ibr 10:1-10). Kurban ini menyenangkan Allah Bapa dan mencapai pendamaian dunia dengan Allah Bapa. Oleh rahmat, yang dimenangkan Kristus di kayu salib, semua orang dibebaskan dari keterasingan dari Tuhan dan diberikan bagian di dalam kehidupan Allah sendiri dan dijadikan kudus. Tugas menguduskan itu dilaksanakan pertama-tama oleh para Uskup, yang adalah imam-imam agung, pembagi- pembagi utama misteri-misteri Allah, dan pemimpin, penggerak dan penjaga seluruh kehidupan liturgi dalam Gereja yang dipercayakan kepadanya. Tugas itu juga dilaksanakan oleh para imam yang mengambil bagian dalam imamat Kristus, selaku pelayan-Nya dibawah otoritas Uskup, ditahbiskan untuk merayakan ibadat ilahi dan menguduskan umat.[5]
Sebagai Raja, Yesus mendirikan Kerajaan Allah di dunia. Mukjizat-mukjizat-Nya membuktikan kuasa-Nya untuk membebaskan manusia dari semua penderitaan. Pengusiran kuasa jahat yang dilakukan oleh Yesus membuktikan dominasi-Nya atas kerajaan setan, dan pengendalian diri-Nya menyatakan penguasaan diri yang dicari semua orang. Sebagai orang yang secara sempurna bebas dari dosa, Yesus dapat melayani. Kebebasan ini mengalir dari kebebasan-Nya yang sempurna untuk melakukan kehendak Bapa. Jabatan/tugas raja mengalir dari tugas ke- imamat-an sebagai buahnya.[6]
Bersatu dengan Tuhan berati menjadi kudus seperti Dia adalah kudus. Kekudusan diperoleh dengan relasi yang mendalam dengan Yesus sendiri. Relasi itu dibangun pertama-tama lewat doa.
DOA
Doa adalah (salah satu bentuk) pengungkapan iman.[7] Orang berdoa berarti orang itu mengungkapkan imannya. Secara sederhana, beriman berarti percaya. Orang berdoa berarti orang mengungkapkan kepercayaannya kepada Allah. Orang berdoa berarti orang mengungkapkan bahwa Allah menjadi tujuan doa. Itu berarti doa merupakan jalan orang berhubungan dan berelasi dengan Tuhan. Berelasi dengan Tuhan berarti berdialog dengan Dia. Berdialog dengan Tuhan berarti berdoa.
Berdoa dalam arti berdialog tidak hanya sebatas kata-kata verbal, tatapi lebih dalam lagi. Berdoa dalam arti berdialog termasuk juga di dalamnya ungkapan hati yang paling dalam. Karena itu berdoa berarti orang mencurahkan segala sesuatu yang menjadi pergumulannya dalam hidup sehingga puncak dari doanya itu adalah persatuan dengan Dia.
IMAM YANG BERDOA
Imam ditahbiskan untuk diutus. Pengutusan imam terkait dengan tiga tugas imamat yang sudah dijalankan oleh Sang Imam Agung: Yesus. Tiga tugas itu ialah: nabi, imam dan raja. Sebelum menjalankan tugas itu, para calon imam diajak untuk menghayati persatuannya dengan Yesus untuk menjadi kudus. Karena itu, panggilan menjadi imam pada hekekatnya adalah panggilan pada kekudusan. Kudus bukan berarti tidak bercela tetapi berusaha melakukan kehendak Tuhan. Karena itulah, seorang imam berusaha menjalankan tugas perutusan sebagai nabi, imam dan raja, sesuai dengan kehendakNya.
Sebagai seorang calon imam, saya sadar, bahwa saya dipanggil pada kekudusan. Tanpa menjadi kudus, saya tidak layak untuk tugas perutusan. Sebagai calon imam, saya menghayati panggilan pada kekudusan ini sebagai suatu hal yang hakiki. Karena sebagai hal yang hakiki, maka saya berusaha untuk memperjuangkan itu dalam setiap karya dan hidup. Bagi saya, kekudusan adalah syarat terpenting seseorang dapat menerima meterai imamat dari Yesus Kristus. Berkat kekudusan itu, seseorang dapat layak menjadi alter Kristus.
Sebagai calon imam yang akan menjadi imam dan mengemban tri-tugas imamat, saya berusaha mendekatkan diri pada Kristus sebagai sumber imamat sejati. Pendekatan itu saya buat tidak lain dengan doa. Berdoa adalah hal yang terpenting bagi saya untuk dapat berjumpa dengan Dia. Tidak hanya berjumpa. Saya berjumpa dengan Dia dan membangun suatu dialong. Dialog tidak hanya lewat kata-kata, tetapi lewat hati yang terdalam. Di sana saya berusaha menyadari kehendakNya atas diri saya. Dengan pendekatan-pendekatan itu, saya menyadari bahwa Dia sungguh memanggil saya untuk tugas perutusan. Saya menyadari bahwa dalam kelemahan sebagai manusia, Dia menghendaki agar saya menjalankan tugas perutusan. Dan bagi saya, ini adalah suatu perjuangan terus-menerus yang membutuhkan proses menujuk kesempurnaan. “Hendaklah kamu sempurna seperti Bapa-Mu yang disurga”.
PENUTUP
Bagi saya, yang terpenting bagi seorang imam adalah menjadi kudus. Kekudusan bagi seorang imam dan juga bagi mereka yang ingin menjadi imam bukan hanya sesuatu yang ideal atau sesuatu yang jauh di sana. Kekudusan adalah sesuatu yang menyatu dengan diri dan segala kepribadian. Untuk menjadi imam, berarti pertama-tama orang perlu menjadi kudus. Kudus bukan berarti tanpa dosa, tetapi melakukan kehendakNya. Melakukan kehendakNya menjadi mungkin kalau seorang imam pun calon imam yang sementara berjuang, bersatu dengan Dia. Persatuan denganNya hanya mungkin jika dibina terus-menerus. Persatuan denganNya bukanlah hal yang instan, sekali jadi. Persatuan dengan Yesus adalah sesuatu yang membutuhkan proses terus-menerus, bahkan juga ketika sudah menjadi imam dan uskup. Tanpa persatuan ini, maka meterai imamat bagi seorang imam tidaklah terwujud. Itulah sebabnya, jika seseorang ingin menjadi imam, maka pertama-tama perlu membangun relasi dengan Dia. Relasi itu perlu dibangun secara kontinue tanpa terputus sehingga orang menemukan persahabatan yang mesra dengan Dia, orang menemukan persatuan yang intim dengan Dia. Di sanalah orang menemukan kehendak Tuhan yang tentunya kehendak itu di bawa dalam penampilan hidup setiap hari.
Dengan modal kekudusan karena persatuan yang mesra dengan Tuhan, maka tugas sebagai nabi, imam dan raja dengan mudah dijalankan. Tri-tugas imamat itu adalah tri tugas Yesus sendiri sebagai Imam Agung. Dan itulah yang dikehendaki bagi seorang imam. Kehendak itu hanya dapat dikenal dan dipahami ketika orang benar-benar bersatu dengan Dia. Memang secara intelektual orang dapat mengetahui tri-tugas itu. Tetapi mengetahui dengan pengetahuan Ilahi dan menjalankannya dengan semangat Yesus, hanya bisa dibuat jika seorang imam sungguh-sungguh bersatu dengan Dia. Tanpa persatuan dengan Dia, tugas keimamatan bukan hal yang tidak mungkin akan menjadi sesuatu yang sekedar di jalankan untuk memenuhi tuntutan orang lain. Saya berdoa semoga saya dapat menjadi kudus berkat persatuan yang mesra dengan Dia agar orang bisa dibawa pada kekudusan juga. Semoga…
[1] KWI, Pastores Dabo Vobis (Seri Dokpen Gerejawi (Bogor: SMT Mardi Yuana, 1992), hlm. 10.
[2] Ibid, hlm. 15.
[3] Ibid. hlm. 39.
[4] Seorang imam dalam Gereja kita adalah seorang murid (Inggris: disciple; Yunani: mathētēs) Yesus – dan selalu seorang murid. Menjadi seorang murid Yesus berarti dipanggil seperti murid-murid-Nya yang pertama, seperti Simon Petrus, Yakobus dan Yohanes yang dipanggil sendiri oleh sang Guru. Ia berkata kepada Lewi si pemungkut cukai: “Ikutlah Aku” [Mat 5:27]. Bagi seorang imam Gereja Katolik – seperti juga halnya dengan para murid Yesus yang awal – hanya ada seorang Guru, yaitu Yesus sendiri. Undangan atau panggilan Yesus tidak main-main dan harus ditanggapi secara total: “Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka” [Mat 8:21-22]. “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk kerajaan Allah” [Luk 9:62]. Menjadi murid-Nya berarti melakukan karya pelayanan secara purna-waktu, sepanjang hidup sang imam: tidak ada hal-hal lainnya dan juga tidak ada pribadi-pribadi lain. Ada pula kata-kata keras lainnya dari Yesus bagi seseorang yang mau menanggapi panggilan-Nya: “Jikalau seorang datang kepada-ku dan ia tidak membenci bapaknya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” [Luk 14:26]. Memang beberapa sabda Yesus ini terkesan keras-berlebihan. Masa sih seseorang tidak boleh menguburkan ayahnya sendiri? Masa sih dia tidak boleh pamitan dengan keluarganya? Masa sih dia harus membenci sanak keluarga dan bahkan nyawanya sendiri? Memang kita seharusnya tidak menjadi fundamentalistis dalam mengartikan pesan Yesus ini. Pesan Yesus sesungguhnya adalah: Siapa pun tidak dapat menjadi seorang murid Yesus kalau Yesus tidak menjadi keseluruhan hidupnya. Menjadi seorang murid Yesus juga berarti dipanggil kepada kesusahan-kesusahan hidup yang terasa kejam bagi kebanyakan orang: meninggalkan segalanya dan memeluk salib, tidak memiliki apa-apa kecuali Yesus. Ia bersabda, “Setiap orang yang mau mengikut Aku harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” [Luk 9:23]. Menjadi seorang murid adalah meneladan sang Guru dalam arti sesungguhnya, dan Ia adalah seorang Guru yang berlimbah darah dan tersalib; Ia yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani [Mat 20:28; Mrk 10:45]. Selanjutanya, seorang imam adalah seorang rasul. Menjadi seorang rasul berarti diutus, seperti halnya para rasul Yesus diutus untuk melayani orang-orang lain. Kata kuncinya di sini adalah “melayani”. Santo Paulus menulis, “... aku suka mengorbankan milikku, bahkan mengorbankan diriku untuk kamu” [2Kor 12:15]. Yang dibawa oleh seorang imam adalah selalu Yesus – tidak hanya pesan-Nya, melainkan juga kehadiran-Nya. Paulus menulis: “... bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus” [2Kor 4:5]. Memang Yesus-lah yang harus selalu diberitakan oleh seorang imam! Bagaimana? Lewat kata dan karya, lewat penata-laksanaan sakramen-sakramen dan pengorbanan, terutama lewat kehidupan doa dan penderitaannya sebagai pribadi. Seorang imam yang sudah lupa bagaimana berdoa adalah seorang imam yang tidak dapat memberitakan Yesus meskipun dia dapat mewartakan hal-hal lainnya. Seorang imam pengkhotbah ulung atau menonjol dalam pelayanan-pelayanan tertentu yang berbangga-diri karena disanjung-sanjung umat, sesungguhnya sudah berada dekat sekali dengan jebakan si Jahat. Ia harus selalu waspada [bacalah 1Ptr 5:8-9]. Seorang imam – seperti Paulus – akan menghadirkan Yesus bagi orang-orang lain secara efektif, hanya apabila dia mempunyai tanda-tanda kepedihan dari kematian Yesus dalam tubuhnya sendiri. Juga hanya apabila dia terus-menerus gelisah karena – seperti Paulus – dia “tidak beroleh ketenangan bagi tubuhnya; di mana-mana mengalami kesusahan: pertengkaran dari luar dan ketakutan dari dalam” [2Kor 7:5]. Ketakutan dari dalam atau lebih tepatnya “rasa was-was/cemas”, yang dimaksudkan di sini adalah rasa kesepian yang pada dirinya bukanlah alasan untuk meninggalkan kehidupan imamat; ketiadaan penghargaan, rasa sedih yang mendalam karena dia sadar betapa rapuh dan rentan dirinya dan betapa kuatnya kejahatan yang ada di sekelilingnya, kata-katanya terasa hilang lenyap tertiup oleh angin sebab kelihatannya begitu sedikit umat yang sungguh memperhatikan.
[5] Kan. 835 § 1 dan § 2 [seorang imam memimpin perayaan Ekaristi. Ekaristi memang bukanlah merupakan keseluruhan tugasnya, namun merupakan kegiatannya yang sentral. Dalam kegiatannya yang menyangkut Ekaristi inilah seorang imam melakukan apa yang ditekankan oleh Santo Paulus untuk dilakukan, yaitu “memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang” [1Kor 11:26]. Seorang imam melaksanakan suatu pelayanan sakramental yang berpusat di sekitar roti kehidupan dan cawan/piala Perjanjian Baru. Di sekitar liturgi ini Gereja telah membangun akses manusia kepada kehidupan yang adalah Kristus: dari air baptisan melalui abu pertobatan sampai kepada minyak urapan yang terakhir. Dalam proses kehidupan ini imam memainkan suatu peran yang unik – suatu peran yang menjadi fokus setiap kali dia memproklamasikan “Terimalah dan makanlah: Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagimu. ... Terimalah dan minumlah! Inilah piala Darah-Ku, Darah Perjanjian Baru dan kekal, yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa. Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku”. Di sinilah, dalam Ekaristi, dalam arti yang sesungguhnya, terletak jantung imamat. Seorang imam dapat saja melakukan tugas-tugas pelayanan lain, seperti mengajar, terlibat dalam kegiatan karya sosial, konseling umat dan lain sebagainya, namun pada titik tertentu dia mengumpulkan umat di sekitar sebuah altar, di sekeliling sebuah meja perjamuan, untuk berbagi dengan mereka suatu pengungkapan rasa syukur di mana karya penebusan terlaksana secara tuntas dan manusia dibuat menjadi satu dengan Allahnya dengan cara yang tak ada bandingannya].
[6] [seorang imam adalah apa yang disebut dalam Perjanjian Baru sebagai presbiter (Yunani: presbytes) atau pengawas jemaat Allah, yaitu pribadi-pribadi yang bertanggung-jawab dalam hal pembinaan-pemeliharaan pastoral gereja-gereja (pengatur rumah Allah). Ia harus tidak bercacat, tidak angkuh, bukan pemberang, bukan peminum, bukan pemarah, tidak serakah, melainkan suka memberi tumpangan, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri dan berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya [Tit 1:7-9]. Tugas seorang imam mensyaratkan kewibawaan namun tanpa sikap dominan, juga kehangatan dalam hubungan interpersonal dengan siapa saja yang ditemuinya. Yang penting untuk dipahami adalah kenyataan, bahwa seorang imam mewakili sebuah lembaga yang bernama Jemaat atau Gereja. Betapa pun karismatiknya dia, bagaimana pun profetisnya dia, bahkan kalau dia dipanggil untuk menyerukan protes terhadap dosa-dosa dan korupsi dalam Gereja sendiri, seorang imam harus mewakili lebih dari sekadar wawasan-wawasan pribadinya. Seorang imam tidak dapat berada di luar Gereja karena dia adalah bagian dari Gereja. Hal ini bukan berarti bahwa Gereja selalu benar atau tidak dapat dikritisi, melainkan karena Gereja adalah tempat di mana iman-kepercayaan itu lahir dan bertumbuh. Gereja merupakan tempat dan pusat kebaktian. Gereja merupakan komunitas cintakasih. Gereja inilah yang diwakili oleh imam].
[7] Jacobs, Tom, Teologi Doa (Yogyakarta: Kanisius, …), hlm.105.